Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan ( ritual ), cenderung ekslusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terikat dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki persamaannya, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.
Agama adalah pedoman manusia untuk hidup di dunia dengan baik dan benar, agar hidup manusia tertib dan punya tujuan, itulah fungsi agama sebagai dasar manusia bertingkah laku, karena di dalam agama terdapat banyak sekali ilmu, jadi antara agama dan ilmu tidak bisa dipisahkan, karena kita memahami agama dengan ilmu, dan ilmu ada karena agama.
Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketetenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hampir semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Agama dan ilmu sama-sama memberikan penjelasana ketika terjadi bencana alam, seperti banjir dan gempa bumi. Gempa bumi dalam konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mengambil hikmah yang terkandung dibalik setiap bencana. Adapaun menurut ilmu, gempa bumi terjadi akibat pergeseran lempengan bumi atau tersumbatnya lava gunung berapi. Oleh karena itu, para ilmuwan harus mencari ilmu dan teknologi untuk mendeteksi kapan gempa akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kkehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia hidup dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyengsarakan sebagian besar penduduk di kulit bumi ini. Akibat dari kemajuan teknologi informasi, masyarakat msikin di daerah tertentu semakin transparan, sebaliknya orang yang super kaya juga terlihat dengan kasat mata. tidak hanya persoalan miskin dan kaya yang kasat mata, tetapi persoalan politik sampai hiburan dan bahkan aktivitas nyamuk di hutan belantara sungai Amazon di Amerika Latin pun dapat ditonton.
Namun, disisi lain manusia semakin tergantung pada teknologi, seperti teknologi informasi, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara benar-benar nyata dan hasil rekayasa, termasuk rekayasa informasi. katakan informasi yang cepat tentag tsunami di Aceh, begitu cepat menyebar ke seluruh dunia, sehingga dengan spontan terjadi solidaritas global. Solidaritas global ini sebenarnya buah dari rekayasa informasi yang brgitu dahsyat. Sebab, dalam waktu yang bersamaan semua televisi menayangkan kejadian yang amat mengerikan dan menyentuh rasa kemanusiaan. Padahal, wilayah Aceh yang tidak kena musibah ada yang jauh lebih menderita daripada yang berada di wilayah tsunami. Peroalannya, mereka tidak diliput oleh media informasi, sehingga tidak ada solidaritas untuk membantu penderitaan mereka. Inilah contoh betapa dahsyatnya kekuatan sebuah rekayasa informasi.
Teknologi ternyata disadari atau tidak menciptakan sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya. Ilmu dan teknologi mengalami degradasi nilai dan akhirnya dapat memenjara ilmu dan teknologi itu dalam satu kerangkeng tertentu. Contohya, televisi adalah bentuk dari kerangkeng teknologi informasi karena ketika informasi masuk dalam kotak yang bernama televisi, maka pada waktu itu teknologi informasi menjadi budak bagi kepentingan kotak tersebut.
Jika teknologi dijadikan tujuan dan cita-cita, maka pada gilirannya peradaban teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang membelenggu manusia sendiri. Nicolas Berdyev dalam bukunya The Destiny of Man berucap :
" Technical progress testfies not only to man's strength and power over nature;it not only liberales man but also weakens and ensalves him; it mechanizes human life and give man the image and semblance of machine.
Jelas bahwa di satu sisi teknologi menjadi penjara bagi manusia, namun pada sisi lain teknologi itu pun dipenjara oleh kepentingan manusia. Teknologi layar seaan-akan telah memenjarakan manusia karena dia tidak bekerja kalau tidak ada komputer atau handphone. Namun, pada saat yang bersamaan manusia memnafaatkan layar untuk ambisinya. Maka tidak heran, bila kemudian layar televisi yang luasnya beberapa puluh inchi disesaki oleh berbagai program. Ibarat tong sampah semuanya ada di situ, pasar,politik, ekonomi, masjid, gereja, pura, dokter, dukun, gajah, dan semut semua masuk televisi. Para penguasa televisi memanfaatkan benar kebutuhan masyarakat sehingga dia gunakan kebutuhan itu untuk mencari untung sebanyak-banyaknya.
Baca juga :
Bila Waktu Mundur
Teknologi ternyata disadari atau tidak menciptakan sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya. Ilmu dan teknologi mengalami degradasi nilai dan akhirnya dapat memenjara ilmu dan teknologi itu dalam satu kerangkeng tertentu. Contohya, televisi adalah bentuk dari kerangkeng teknologi informasi karena ketika informasi masuk dalam kotak yang bernama televisi, maka pada waktu itu teknologi informasi menjadi budak bagi kepentingan kotak tersebut.
Jika teknologi dijadikan tujuan dan cita-cita, maka pada gilirannya peradaban teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang membelenggu manusia sendiri. Nicolas Berdyev dalam bukunya The Destiny of Man berucap :
" Technical progress testfies not only to man's strength and power over nature;it not only liberales man but also weakens and ensalves him; it mechanizes human life and give man the image and semblance of machine.
Jelas bahwa di satu sisi teknologi menjadi penjara bagi manusia, namun pada sisi lain teknologi itu pun dipenjara oleh kepentingan manusia. Teknologi layar seaan-akan telah memenjarakan manusia karena dia tidak bekerja kalau tidak ada komputer atau handphone. Namun, pada saat yang bersamaan manusia memnafaatkan layar untuk ambisinya. Maka tidak heran, bila kemudian layar televisi yang luasnya beberapa puluh inchi disesaki oleh berbagai program. Ibarat tong sampah semuanya ada di situ, pasar,politik, ekonomi, masjid, gereja, pura, dokter, dukun, gajah, dan semut semua masuk televisi. Para penguasa televisi memanfaatkan benar kebutuhan masyarakat sehingga dia gunakan kebutuhan itu untuk mencari untung sebanyak-banyaknya.
Baca juga :
Bila Waktu Mundur
Comments
Post a Comment
Terima kasih telah berkomentar, silahkan baca untuk lebih jelasnya silahkan tanyakan